Jejak Karbon Turis Antartika: Ironi ‘Wisata Kiamat’ Semakin Merusak
4 mins read

Jejak Karbon Turis Antartika: Ironi ‘Wisata Kiamat’ Semakin Merusak

Crbnat.com – 12 November 2025 – Sebuah ironi besar sedang terjadi di benua paling terisolasi di Bumi. Antartika, lanskap es murni yang rapuh, kini menjadi salah satu destinasi wisata petualangan paling “panas” di dunia. Ironisnya, keinginan banyak orang untuk “melihatnya sebelum hilang” justru mendorong fenomena ini. Analisis mendalam terhadap Dampak Wisata Antartika menunjukkan bahwa jejak karbon dari perjalanan ini sangat signifikan.

Setiap tahun, lebih dari 100.000 wisatawan internasional melakukan perjalanan ekstrem ke ujung selatan planet ini. Banyak pengamat menyebut fenomena ini ‘wisata kiamat’ (last-chance tourism). Aktivitas menikmati keindahan Antartika ternyata berkontribusi langsung pada efek rumah kaca, yang pada akhirnya memicu pemanasan global dan mencairkan es yang ingin mereka lihat.

Mengukur Jejak Karbon dari Dampak Wisata Antartika

Untuk memahami skala masalahnya, sebuah riset dalam Journal of Sustainable Tourism telah menghitung jejak emisi dari industri ini. Para peneliti menemukan bahwa kombinasi penerbangan jarak jauh antarbenua dan masa tinggal yang lama di atas kapal pesiar menempatkan Antartika sebagai salah satu destinasi wisata paling boros energi di dunia.

Riset tersebut mengungkap data yang gamblang. Selama musim wisata 2022-2023 saja, industri ini menghasilkan total 674.696 ton emisi setara karbon dioksida (CO2e). Jika kita merata-ratakan, setiap wisatawan bertanggung jawab atas jejak karbon sebesar 6,41 ton untuk satu kali perjalanan.

Angka ini semakin mencengangkan jika kita membedahnya lebih lanjut. Studi itu merinci bahwa 2,26 ton berasal dari penerbangan (untuk mencapai titik keberangkatan). Sementara itu, perjalanan kapal pesiar ekspedisi menghasilkan 4,15 ton sisanya. Sebagai perbandingan, 6,41 ton emisi untuk satu kali liburan jauh melampaui total jejak karbon tahunan rata-rata penduduk di banyak negara.

Bahaya Karbon Hitam di Atas Es Putih

Meskipun data tersebut mengkhawatirkan, beberapa pihak mencoba memberikan konteks. Daniela Cajiao dari Universitas Wageningen, penulis utama riset, mencatat bahwa Dampak Wisata Antartika (satu-satunya frasa bold di isi artikel) masih kurang dari 2 persen dari total emisi pelayaran global. Angka ini membuatnya terlihat kecil dalam skema besar.

Akan tetapi, argumen ini mengabaikan bahaya yang spesifik di wilayah kutub. Masalah di Antartika bukan hanya soal CO2. Masalah terbesarnya adalah karbon hitam (jelaga) yang kapal keluarkan dari knalpotnya. Partikel jelaga yang gelap ini tidak menguap begitu saja. Ia jatuh dan mengendap di atas permukaan es dan salju yang putih bersih.

Akibatnya, permukaan es menjadi lebih gelap. Hal ini mengurangi kemampuan es untuk memantulkan sinar matahari (efek albedo). Es yang gelap justru menyerap lebih banyak panas, yang pada akhirnya mempercepat laju pencairan es secara lokal. Jadi, meskipun persentase globalnya kecil, dampak regionalnya di ekosistem paling rapuh di Bumi ini sangat merusak.

Menyeimbangkan Dampak Wisata dan Kesadaran Global

Tentu saja, industri pariwisata Antartika tidak tinggal diam. Asosiasi Internasional Operator Tur Antartika (IAATO) menanggapi riset ini dengan serius. Mereka menegaskan bahwa para anggotanya berkomitmen penuh untuk mengurangi dampak perubahan iklim.

Amanda Lynnes, penasihat senior lingkungan IAATO, menekankan bahwa ini bukan wacana baru. Menurutnya, banyak kapal wisata yang beroperasi di Antartika telah mengalami peningkatan kualitas besar-besaran selama dekade terakhir. Langkah paling signifikan adalah pelarangan total penggunaan bahan bakar minyak berat (HFO) yang kotor di perairan kutub.

Para operator kini telah beralih ke bahan bakar yang kurang berbahaya dengan emisi lebih rendah. Selain itu, Lynnes menegaskan bahwa anggota IAATO telah berjanji untuk mencapai target net-zero (nol karbon) secepatnya, jauh sebelum tenggat waktu global tahun 2050.

Dilema Etika Dampak Wisata Antartika: ‘Duta Kutub’ vs. Kerusakan Nyata

Di sinilah letak paradoks utamanya. Para pendukung berargumen bahwa tidak ada yang bisa menggantikan pengalaman melihat Antartika secara langsung. Mereka percaya bahwa wisatawan yang pulang akan menjadi “Duta Kutub” (Polar Ambassadors). Setelah menyaksikan sendiri kerapuhan dan keagungan benua es, para pendukung berharap mereka menjadi advokat yang lebih kuat untuk kebijakan perlindungan iklim di negara asal mereka.

Namun, para kritikus melihatnya secara berbeda. Mereka menganggap argumen “duta” hanyalah sebuah pembenaran atas kemewahan yang egois. Pertanyaannya tetap sama: apakah pembenaran atas kesadaran segelintir orang ini sepadan dengan biaya 6,41 ton karbon yang liburan ini lepaskan ke atmosfer? Pada akhirnya, jika tidak ada inovasi radikal, Dampak Wisata Antartika ini hanya akan mempercepat datangnya kiamat itu sendiri.